Tinjauan Tata Ruang terhadap Bencana Situ Gintung

Bencana jebolnya tanggul Situ Gintung, Cireundeu, Tangerang Selatan pada tanggal 27 Maret lalu tentunya sangat memprihatinkan. Korban jiwa tercatat berjumlah 99 orang (Kompas 1 April 2009) dan angka ini masih mungkin bertambah mengingat masih terdapat 100 korban dilaporkan hilang. Bencana ini mencakup kawasan yang tidak terlalu luas (112.5 ha) tetapi karena besarnya korban jiwa ini, pemerintah pusat dan daerah memberikan perhatian yang besar terhadap bencana ini.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menganalisa penyebab jebolnya tanggul Situ Gintung. Penelitian yang dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menemukan adanya erosi buluh pada bagian tanggul yang jebol (Kompas 1 April 2009). Adanya erosi buluh ini menyebabkan terjadinya rembesan air ke dalam kapiler retakan yang selanjutnya membuat badan tanggul longsor. Erosi buluh ini telah terdeteksi pada pengamatan yang dilakukan pada bulan Desember 2008.

Curah hujan yang tinggi di kawasan sekitar Situ Gintung ditengarai sebagai penyebab terjadinya bencana jebolnya tanggul Situ Gintung. Hujan hanyalah pemicu dan bukanlah penyebab terjadinya bencana tersebut. Curah hujan Curah hujan tinggi tercatat sering terjadi sebelumnya di kawasan Situ Gintung, seperti terjadi pada tahun 2007 yang menyebabkan banjir besar di Jakarta, tetapi tidak menjebolkan tanggul Situ Gintung.

Sebagai seorang pengamat tata ruang di Indonesia, saya berpendapat bahwa bencana Situ Gintung adalah akibat lemahnya penegakan rencana tata ruang. Indonesia telah memiliki Undang-undang Penataan Ruang sejak tahun 1992 melalui UU 24/1992 yang membagi fungsi utama kawasan menjadi dua yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung termasuk diantaranya kawasan sekitar mata air dan kawasan sekitar waduk/danau, seperti halnya kawasan Situ Gintung. UU 24/1992 menegaskan bahwa kawasan lindung adalah kawasan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup. Kegiatan yang dapat dilakukan di kawasan lindung adalah sangat terbatas seperti upaya konservasi, rehabilitasi, penelitian dan objek wisata lingkungan.

Bilamana kita mengacu kepada ketentuan yang terdapat dalam UU 24/1992 ataupun Undang-undang Penataan Ruang yang baru (UU 26/2007), kawasan Situ Gintung semestinya berfungsi sebagai kawasan lindung. Pemfungsian kawasan Situ Gintung sebagai kawasan lindung ini berarti kegiatan yang diperkenankan dilakukan di kawasan ini hanyalah untuk melindungi kelestarian Situ Gintung. Kawasan permukiman tentunya tidak termasuk ke dalam kawasan lindung dan tidak diperkenankan terdapat di kawasan Situ Gintung.

Bencana yang terjadi di kawasan Situ Gintung adalah akibat dari kegiatan yang terjadi di kawasan tersebut yang tidak melindungi kelestarian lingkungan hidup Situ Gintung. Lebih dari 40 persen dari kawasan tangkapan air dari Situ Gintung yang luasnya 112,5 hektar adalah kawasan terbangun (Kompas 1 April 2009). Persentasi kawasan terbangun sebesar ini di kawasan yang semestinya diarahkan sebagai kawasan lindung tentunya menjadi bukti lemahnya penegakan undang-undang penataan ruang di Indonesia. Besar kemungkinan bilamana bencana ini tidak terjadi, persentasi kawasan terbangun di kawasan Situ Gintung akan bertambah seiring dengan tekanan pertambahan penduduk.

UU 26/2007 yang merevisi UU 24/1992 dengan menambahkan klausul pengenaan sanksi bagi pelanggar tata ruang juga belum diimplementasikan secara tegas. Berikut pula dengan pengenaan disinsentif dan insentif dalam pelaksanan pemanfaatan ruang belum ditegakkan sebagaimana mestinya. Pelanggaran tata ruang di kawasan Situ Gintung adalah hanya salah satu contoh saja dari sekian banyak pelanggaran tata ruang di Indonesia. Penegakan UU Penataan Ruang tidaklah mudah tanpa adanya pemahaman masyarakat terhadap pentingnya tata ruang.

Masyarakat Indonesia masih memerlukan waktu dan upaya yang lebih intensif untuk “belajar” pentingnya tata ruang untuk pembangunan yang berkelanjutan. Musibah Situ Gintung ini dapat pula dimaknai sebagai pembelajaran bagi masyarakat tentang konsekuensi dari pelanggaran tata ruang. Indonesia perlu belajar dari kesalahan yang terjadi di kawasan Situ Gintung untuk menghindari terulangnya kejadian serupa di masa mendatang. Masyarakat Indonesia mesti memahami pentingnya rencana tata ruang bagi kebaikan dan keselamatan mereka. Pemahaman ini adalah sangat esensial bagi pemerintah untuk menegakkan wibawa UU Penataan Ruang 26/2007 demi terwujudnya ruang Indonesia yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan.

0 komentar: